Minggu, 7 Juni 2009
Saya pernah bertanya pada seorang anak berusia lima tahun, murid taman kanak-kanak (TK) di daerah Cimahi. Iseng-iseng saja. saya tanya padanya, apakah dia menyukai dongeng? sambil menggerakkan tangannya, ia malah bercerita tentang acara mendongeng yang pernah ia ikuti bersama teman-temannya di sekolah. Lalu ia menyebutkan satu nama yang waktu itu disebutnya pernah mendongeng untuknya, Kak Andi.
Saya lalu tertawa. Mengingat bahwa saya harus menulis tulisan ini. Tapi begitulah. Memang tak bisa dimungkiri, sosok Andi Yudha Asfandiyar (43) atau sering disapa Kak Andi, tak bisa dilepaskan dari kehidupan anak-anak. Kak Andi punya kecintaan tersendiri terhadap anak-anak hingga memutuskan untuk selalu beraktivitas yang berhubungan dengan anak-anak.
Saat menemui Kak Andi di Sanggar PicuPacu Kreativitas! miliknya di kawasan Antapani, Selasa (12/5), ia tak berubah. Ramah dan selalu menyambut dengan senyum. Hari itu ia mengenakan sweater bertuliskan kata “buku”. Ya, ia memang suka membaca. Setidaknya hal itu terlihat dari jejeran buku yang tersusun rapi di rak buku seberang meja kerjanya.
Ia juga masih setia pada kumis yang sudah dipelihara entah sejak kapan. Saya tergelitik untuk bertanya, mengapa ia keukeuh memelihara kumis. Padahal, anak-anak biasanya takut melihat kumis lebat. Seperti Pak Raden, kelakar saya. Ia malah tersenyum sambil bilang bahwa yang membuat takut anak-anak bukan kumis, tetapi perlakuan kita terhadap mereka. Makanya ia tak pernah mencukur kumisnya. Hmmm, sebenarnya ia pernah sekali mencukur kumis. Saat ia mengikuti ospek Jurusan Desain Grafis Institut Teknologi Bandung (ITB), 24 tahun lalu.
Kak Andi adalah pendongeng. Ia juga pemerhati sekaligus trainer masalah anak dan remaja, konsultan anak sekaligus penulis buku. Dalam daftar riwayat hidup yang di cetak, ia juga menulis bahwa ia adalah penangkap ular profesional. Ah, sekarang saya tahu dari mana kata sapaan Ulo yang sering dialamatkan padanya berasal. Ulo dalam bahasa jawa, artinya ular. Menyiratkan betapa besar ayah tiga anak ini mencintai fauna seperti ular.
Jadi, sejak kapan Kak Andi sering di panggil “Andi Ulo”?
Itu gara-gara ulang tahun Radio Mara Bandung. Tahun 1996 saya menjadi pengasuh acara anak-anak di sana. Ketika orang lain sibuk dengan aktivitas ulang tahun, saya malah sibuk membawa ular-ular dan menggelar pertunjukkan. Makanya sejak saat itu saya dikenal sebagai “Andi Ulo”.
Kalau kecintaan Kak Andi terhadap ular, sejak kapan?
Waktu kelas III SD. Saya dan orangtua jalan-jalan ke museum di Jln. Ijen, Malang. Di sana ada kolam dan saya lihat ada ularnya. Saya bilang ke ayah, ingin tangkap ular itu. Ayah bilang boleh. Padahal saya tahu, ayah saya takut ular. Dia kasih saya dua instruksi agar saya berhati-hati dan menangkap kepala ular terlebih dahulu. Lalu saya tangkap ular itu. Dari sana, saya belajar banyak hal. Jangan pernah mewariskan ketakutan terhadap anak-anak. Sekarang banyak lho orang-orang yang menelefon saya, kalo di rumahnya ada ular.
Kalau cikal bakal kecintaan kak Andi terhadap anak-anak, itu bagaimana?
Itu juga sudah ada sejak kecil. Sejak kecil, saya sudah terbiasa berkumpul dengan anak-anak di rumah. Ayah saya seorang guru, ibu saya di rumah, tetapi mereka berdua suka anak-anak. Makanya rumah saya terbuka untuk semua anak. Bisa di gunakan untuk bemain apa saja. Karena saya yang punya rumah, saya suka berlagak seperti pemimpin anak-anak. Saya ajak mereka cari ular, main tenda-tendaan, dan lain-lain.
Termasuk mendongeng?
Oh iya. Saya sejak kelas IV SD sudah mendongeng untuk anak-anak. Ibaratnya, anak kecil ngajar anak kecil. Berawal dari hobi, sekarang malah jadi profesi. Dalam konsep sederhana, mendongeng konteksnya bercerita untuk anak. Dalam konsep teori, mendongeng maksudnya punya ilmu untuk di-share dengan orang lain.
Berawal dari hobi, bagaimana Kak Andi bisa mengubah kecintaan terhadap anak-anak sebagai profesi?
Waktu kuliah, saya ikut pembinaan anak-anak Salman. Itu bukan lembaga pendidikan formal sih, hanya ada di hari Minggu, tempatnya di Taman Ganesha. Semakin sering bertemu anak-anak, saya semakin bersemangat. Apalagi dengan didukung kemampuan desain grafis saya, itu sangat menunjang untuk menyenangkan anak-anak.
Kalau banting setir ke bidang lain?
Hmm apa ya? Kayaknya kalaupun saya banting banting setir seperti bikin kafe, saya juga bikin kafe yang hommy buat anak-anak. Pokoknya yang berhubungan dengan anak-anak. Seperti ketika tahun lalu saya resign dari Mizan, padahal saya di sana sejak 1992. Tetapi saya masih sering kok menyumbangkan ide untuk Mizan. Hubungan saya masih sangat baik.
Lalu Kak Andi mendirikan PicuPacu?
Iya. Sanggar yang saya buat, bergerak dan bersentuhan dengan kreativitas. Di sana anak-anak bisa menggambar, menulis, membuat komik, dan semacamnya. Ini adalah era kreatif. Kita enggak bisa hanya ngomong doang tentang kreativitas ke arah sana. Bisa dibilang, ini versi generiknya. Membuat anak-anak mudah menangkap pelajaran, tetapi murah. Untuk orangtua juga ada.
Memangnya, bagaimana cara memicu kreativitas bagi anak-anak?
Konsepnya sebenarnya bukan melatih anak menjadi pintar, tetapi memicu dan memacu otak anak yang hebat, berbasis multiple intelegence. Yang penting, yang keluar dari anak-anak adalah ide secara visual. Orang tua juga seharusnya mengubah mind set. Kadang kan orang tua suka memaksakan kehendak supaya masa kecil anak sama dengan masa kecil mereka dulu.
Lalu, apa yang harus dilakukan terhadap anak-anak?
Semua dimulai dari tangan. Soalnya kalo dari mata kan, nanti jadinya hanya teori karena dia hanya melihat. Kalau dari tangan, lalu masuk ke mata, otak, action. Anak-anak seharusnya di ajak begitu.
“Multiple Inteligence” itu sebenarnya kaya apa?
Itu adalah cara bagaimana kita memperlakukan anak. Anak kecil itu unik, semua punya sifat dan karakter yang berbeda. Ada yang cepat berpikir, ada yang lambat. Semuanya tergantung perkembangan dan kematangan. Jadi, cara penanganannya harus berbeda. Walaupun ada juga yang universal dari anak-anak. Misalnya mereka semua suka bermain, suka gerak-gerak. Makanya saya menekankan GSG, yaitu gerak, suara, dan gambar.
GSG itu yang digunakan untuk memacu potensi anak?
Iya. Itu makanya, gaya anak yang berbeda-beda itu bisa di push dengan potensi masing-masing. Kalau dulu, cuma ada orangtua dan guru. Sekarang anak bisa belajar dari mana saja, mulai dari tulisan di t-shirt, mal, orang yang dilihat di jalan, sampai facebook. Kalau sekolah tidak mengimbangi ilmu anak-anak yang didapat di luar, yang terjadi anak-anak itu malah enggak belajar. Akhirnya, sekolah hanya jadi lembaga nasihat yang menuntut. We are not only teach, but also touch. Kalau pendidikan lewat dua wilayah itu bisa masuk ke hati, proses belajar jadi lebih enak.
Yang sebaiknya tidak dilakukan karena akan memengaruhi psikologis anak?
Nah, yang ini juga sering dilakukan orangtua. Yaitu menakut-nakuti. Misalnya ketakutan terhadap dokter atau polisi. Kalau tidak mau makan akan diculik. Kan kasihan. Ironisnya, tanpa sadar orangtua malah banyak yang membuat mind set anak jadi penakut dan tidak berani mencoba sesuatu karena ditakut-takuti pada usia dini. Potensi anak kan masih peka dan kalau ditakuti justru jadi mengendap. Jadi, tidak aneh kalau kemudian ada yang fobia tanpa ada pengetahuan sama sekali.
Sering mengasuh dan dekat dengan anak orang lain, lalu bagaimana dengan anak-anak Kak Andi?
(Tertawa) Saya punya tiga anak, lelaki dan perempuan. Sepertinya anak saya beruntung punya ayah seperti saya. Tetapi memang mendidik anak sendiri tidak semudah mendidik anak orang lain. Tiap anak itu unik. Perlakuannya juga harus berbeda. Saya tidak bisa memaksakan. Anak saya yang pertama jago menggambar, jago bermain piano, dan pintar secara akademik juga. Yang kedua agak pendiam, tetapi senang mengulik-ulik. Yang ketiga juga berbeda lagi.
Menghadapi anak-anak pernah marah?
Pernah. Kalau anak-anak ribut dan tidak bisa diberi tahu. Akan tetapi, marah kepada anak harus ada solusinya. Saya bilang kalau anak-anak ribut akan mengganggu yang lain. Mood yang kurang bagus itu bisa di olah dengan cara yang berbeda. Misalnya, bermain pantomim atau mengajak anak-anak menggambar, pukul alat musik, dan lebih banyak melakukan kegiatan nonverbal.
Adakah hal yang membuat Kak Andi terkesan dengan pengalaman masa lalu?
Waktu saya masuk koran untuk pertama kali. Saya masih kelas IV SD. Mobil-mobilan buatan saya, yang membuat saya masuk koran. Namanya Suara Indonesia yang terbit di Malang. Wah saya bangga sekali. (Endah Asih/”PR”)
Sumber: Pikiran Rakyat
Thursday, 11 June 2009
Jangan Buat Takut Anak!
Thursday, June 11, 2009
picupacu KREATIVITAS!
No comments
0 comments:
Post a Comment