Thursday, 24 March 2011

Nilai Rapor Bukan Harga Mati

Musim pembagian rapor telah tiba. Musim itu biasanya menjadi moment yang mendebarkan untuk anak dan orang tua. Terlebih lagi biasanya orang tua yang cemas, ingin melihat hasil evaluasi belajar yang telah diraih ananda tercintanya. Bagi sebagian anak, mendekati hari pembagian rapor menjadi beban tersendiri. Mereka dihantui rasa was-was, apakah nilai yang tercantum sesuai dengan harapan atau justeru membuat hati menangis. Demikian pula dengan orangtua, mereka menunggu momen pembagian rapor ini. Orangtua ingin melihat efektivitas pembelajaran anak-anak mereka selama satu semester. Harapannya, tentu saja anak-anak mereka mendapat nilai yang bagus dan memuaskan.

Inilah pandangan umum masyarakat terhadap pembelajaran anak di sekolah. Anak-anak dituntut meraih hasil yang baik dalam bentuk nilai ulangan dan nilai rapor yang bagus. Orangtua akan kecewa melihat nilai rapor anaknya yang jeblok. Bentuk kekecewaannya bermacam-macam, ada yang memarahi anaknya, menyalahkan sekolah, atau menyesali kesibukan kerja sehingga belajar anak tidak terawasi. Sebaliknya, orangtua akan gembira bukan main menyaksikan nilai rapor anak yang bagus. Orangtua ini akan bangga memperlihatkannya pada teman sejawat dan tetangga sekitar.
Jika demikian, anak menjadi objek penderita yang harus menerima beban berlebih dalam pendidikan. Anak-anak menjadi tersadar dengan sendirinya kalau mereka harus selalu bekerja keras untuk meraih prestasi tertinggi di kelas. Semuanya itu dilakukan untuk kebahagiaan dan kebanggaan orangtua. Hal-hal dasar dalam pendidikan akhirnya terabaikan. Orangtua lupa kalau kemampuan setiap anak itu berbeda. Tidak semua anak pintar matematika. Begitu pula tidak semua anak dapat menguasai materi IPA, IPS atau PKN dengan utuh. Anak-anak disamaratakan, padahal hanya satu anak yang bisa meraih “rangking satu”, yang tertera di rapor. Kebanggaan anak pada potensi khas dan kemampuan dirinya dengan berat hati harus diletakkan di urutan sekian dan sekian.
Keberadaan rapor satu sisi adalah positif, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan anak didik kita selama satu semester atau satu tahun. Namun, sangatlah tidak bijak, jika rapor dijadikan satu-satunya acuan nilai keberhasilan anak. Rasanya kurang adil, hanya diwakili oleh satu nilai angka. Selama satu semester atau satu tahun. Untuk itu, perlu adanya upaya pemahaman penting bagi guru orang tua bahkan siswa itu sendiri dalam menyikapi nilai rapornya. Ada penilaian yang lebih mengena daripada hanya melihat hasil akhir saja, yaitu penilaian progress (kemajuan) anak. Nilai ini adalah nilai-nilai yang bisa didokumentasikan oleh guru, jauh sebelum muncul sebuah nilai rapor. Jadi nilai ini akan memuat lebih lengkap mengenai usaha atau proses yang ditempuh siswa dalam memahami sebuah kompetensi dasar. Nilai progress ini akan lebih akurat jika disertai kelengkapan portofolio yang didokumentasikan. Sekolah yang sangat mementingkan keragaman anak, memposisikan bahwa semua anak adalah juara di bidangnya masing-masing, bahwa semua anak adalah cerdas, adalah sekolah yang sudah bisa mengakomodir nilai-nilai bukan sekadar nilai rapor, tapi kelengkapan nilai progress dan portofolio yang bisa dipertangungjawabkan.
Begitu pun orang tua yang memahami perkembangan anak, tentu tidak akan menjadikan nilai rapor sebagai satu-satunya harga mati. Nilai rapor kurang memuaskan, maka dicap ‘bodoh’ lah si anak. Di sinilah dua titik yang harus ditemukan, pemahaman orang tua, dan pemaknaan sekolah terhadap nilai rapor. Jika dikomunikasikan dengan baik, maka nilai rapor tentulah tidak akan menjadi nilai sakral atau harga mati bagi kemampuan anak didik.
Mengapa proses belajar yang harus dihargai daripada hasil? Karena proses itulah pembelajaran anak yang hakiki. Target-target belajar diraih melalui pengalaman dan pembiasaan. Dalam tradisi Islam, pembiasaan ini disebut riyadloh atau latihan jiwa. Anak ditempa dengan pengalaman bermakna. Anak juga diberi pilihan-pilihan yang mendewasakan, tentunya dengan bimbingan dan pendampingan guru. Semua kegiatan dan aktivitas dipantau, dievaluasi dan didiskusikan dengan anak. Dari situlah timbul pemahaman yang konstruktif, anak tidak melulu disuapi dengan definisi dan pengetahuan tanpa memahaminya. Itu semua sangat penting karena belajar adalah pembentukan jiwa anak, supaya mereka menjadi generasi yang tangguh, mandiri, dan mulia. Nilai akhir bukanlah segalanya. Menghargai proses dibalik hasil dengan mata kebijakan, akan membuat hasil akhir tersebut terlihat baik sekalipun nilai akhir yang diperoleh itu buruk. Nilai atau hasil akhir bukanlah segalanya, tapi nilai-nilai-lah yang membuat hasil akhir tersebut menjadi baik atau buruk.

0 comments: