Tuesday, 25 December 2012

Penerimaan VS Penghakiman--by : Bunda Nailal Hikam

Setelah sempat mogok sekolah ketika baru hijrah ke Bandung, akhirnya Nail menemukan tempat yang sesuai di hati. Bulan pertama tinggal di Bandung hampir semua sekolah yang kami datangi ditolaknya mentah-mentah. “Nail gak mau sekolah di sini. Nail gak mau sekolah selama-lamanya,” katanya setiap kali mengunjungi sekolah baru. Sampai satu hari tanpa sengaja kami melewati sekolah dengan tokoh kucing yang sangat dikenal Nail ada di depannya. Segera saja saya mencari tahu tentang sekolah ini melalui internet. Keesokan harinya saya langsung mengajak Nail ke sana. Kami disambut dengan meriah oleh guru-guru yang berwajah cerah. Nail bermain di sana dengan gembira tanpa paksaan, walaupun masih saja minta ditunggu Bunda. Alhamdulillah akhirnya dia mau sekolah di sana, meski awalnya tak mau menyebut tempat itu sekolah. Setiap kali saya mengajaknya sekolah, selalu dijawabnya, “Itu bukan sekolah. Itu tempat main.” Apapun sebutannya yang terpenting Nail sudah tidak mogok lagi. Lagipula Taman Kanak-kanak itu kan memang tempat bermain?. Empat bulan berlalu, Nail semakin senang di sekolah. Sekarang Ia sudah mau menyebutnya “Sekolah Nail”. Hanya satu aksi yang belum selesai ditunjukkannya, selalu nempel Bunda dan harus ditunggu Bunda. Alhamdulillah pihak sekolah sangat mengerti kondisi Nail dan mengijinkan saya menunggui Nail. Semua dibiarkan berjalan secara alamiah, akhir-akhir ini Nail semakin senang bermain. Mudah-mudahan tiba saatnya ia merasa siap bersekolah tanpa Bunda. Selama menunggu di sekolah, mau tidak mau saya jadi mengenal dengan baik setiap teman Nail. Satu hal yang menarik adalah mayoritas yang datang ke sekolah ini merupakan anak-anak yang mengalami trauma dengan sekolah. Setiap anak di sini memiliki keunikan dan istimewa. Ada anak yang “sangat aktif” seperti Nail dan beberapa temannya, ada juga anak yang sangat pendiam bahkan cenderung menarik diri. Uniknya, semua anak gembira di sekolah dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Saya jadi berpikir, apa yang membuat anak-anak ini tidak takut dengan sekolah, bahkan Nail menangis kalau saya bilang tidak usah sekolah. Setelah saya perhatikan, kuncinya adalah penerimaan. Di sekolah ini tidak ada penghakiman. Semua anak, seperti apapun dia, dari manapun asalnya, setiap pagi tetap akan mendapat sapaan ramah dan ceria dari kakak-kakak, begitu mereka menyebut gurunya. Di dalam sekolah ini sama sekali tidak ada paksaan. Semua anak bebas berekspresi dan menyatakan keinginannya. Semua ini membuat setiap anak bangga menjadi dirinya. Ada kalanya seorang anak melakukan hal yang kurang baik seperti memukul teman, maka kakak-kakak menanganinya secara personal dan tidak menghakimi. Seringkali kita mengkotak-kotakkan anak dengan label baik dan tidak baik, nakal dan penurut, usil dan pendiam. Tanpa sadar kita akan memilih anak yang cenderung lebih mudah ditangani (dikuasai) dibandingkan yang sulit. Ketika seorang anak telah mendapat label, maka ia akan merasakannya. Begitu pula ketika orang dewasa menerima dan menyayangi dengan tulus, mereka merasakannya. Anak-anak tidak pernah mengerti kenapa mereka menjadi “nakal”, “jail” ataupun “menarik diri”. Satu-satunya yang mereka pahami adalah mereka membutuhkan orang dewasa yang mau meyayangi dan menerima mereka apa adanya. Perjalanan hidup manusia adalah proses belajar yang panjang. Ketika proses belajar itu telah dipotong dengan penghakiman-penghakiman, maka anak akan berhenti belajar. Dengan penerimaan terhadap anak seperti apa adanya dia, maka Ia akan membuka diri untuk perubahan yang lebih baik. Saya menemukan semangat penerimaan itu di sekolah Nail sekarang. Setiap Ibu pasti mendambakan seorang anak yang sempurna. Pintar, penurut, baik hati, sopan, dan segala label baik yang melekat dalam dirinya. Namun tak ada anak yang sempurna, pun tak ada ibu yang sempurna. Semua menjalankan proses pembelajaran yang semestinya dilakukan seumur hidup. Memberikan vonis pada anak, pada orang lain, dan pada diri sendiri hanya membuat belajar jadi semakin sulit. Menerima serta memahami kekurangan anak dan kekurangan diri sendiri menjadikan dunia belajar jadi menyenangkan. Dalam suasana yang menyenangkan kreativitas akan berkembang hingga tumbuh jiwa yang tak bosan belajar dan haus hal-hal yang baru. Semoga jiwa ini juga tak lelah belajar menjadi Ibu untuk anak-anak yang kreatif. Semua ini proses yang panjang, masih sangat panjang. Tidak boleh terhenti hanya karena penilaian-penilaian negatif. I’ll keep doing my best. Sudut sepi Bandung, Jumat, 21 Desember 2012

0 comments: